Sunday 1 February 2015

Sejarah Uang Kertas Indonesia Raya Dari Masa Ke Masa


UKIR uangkunoindonesiaraya.blogspot.com

Artikel kali ini melanjutkan pengetahuan kita yang lalu soal uang kuno yang berjudul "Sejarah Perjalanan Mata Uang Indonesia Raya Dari Masa Ke Masa" sebagai edukasi yang lebih mendetail seputar uang kertas Indonesia Raya dari Masa ke Masa yang pernah ada selama ini. Hal ini sangat berguna bagi kita para pecinta Numismatika di Nusantara Indonesia Raya, agar dapat lebih dalam lagi mengetahui seluk-beluk tentang nilai dari uang-uang kuno yang kita kumpulkan dengan penuh suka duka, sehingga pada akhirnya kita pun akan lebih menghargai, menyenangi, dan menyayangi demi melanjutkan hobby Numismatik yang telah kita tekuni selama ini.

Artikel ini ialah merupakan materi yang ditulis oleh seorang pakar Numismatika berkaliber Internasional, yaitu Bapak AA. Sumana. Berikut isi materinya :


SEJARAH UANG KERTAS INDONESIA


JAMAN PEMERINTAHAN BELANDA (1610 – 1811)

Masa awal perkembangan uang kertas di Indonesia tak lepas dari pengaruh imperialisme asing (Belanda, Inggris, dan Jepang). Sejak kedatangan bangsa-bangsa asing, terutama para pedagang yang memperkenalkan berbagai jenis mata uang logam asing sebagai alat pembayaran dalam perdagangan dengan penduduk setempat, sampai pengedaran mata uang logam khusus berlaku di kepulauan Nusantara 1602 - 1799, tidak dipergunakan uang kertas.

Meskipun kertas telah dikenal di Indonesia pada abad XVII, sumber-sumber tertulis asing terutama dari bangsa Belanda dengan perwakilan dagang dan kekuasaannya Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) 1602 – 1799 tidak pernah menyebutkan penggunaan uang kertas, akan tetapi uang logam sebagai alat pembayaran utama di kepulauan Nusantara.

Terkecuali, satu-satunya sumber tertulis Belanda yang melaporkan penerbitan uang kertas darurat oleh penguasa VOC di Pulau Banda pada tahun 1659, dikarenakan kesulitan uang kecil dari bahan logam.

Beberapa waktu setelah pengeluaran uang kertas karton darurat Kota Leiden 1576 dan saham pertama VOC di dunia 1606. Uang kertas Banda 1659 ini mendahului penerbitan uang kertas modern bangsa-bangsa barat : Swedia 1661, Inggris 1694, Norwegia 1695, Perancis 1701.

Selama masa kekosongan yang panjang (1659 - 1782), Bank pertama Bataviaasch Bank Courant (1746) dan Bank Van Leening, mengeluarkan surat-surat bank dalam berbagai pecahan (1748 - 1752).

Beberapa tahun sebelum pembubarannya, VOC menyadari perlunya alat pembayaran dari kertas untuk transaksi besar yang dikenal sebagai “Surat Hutang Kompeni” (Compagnie Kredietbrieven) pada tahun 1782. Instrumen moneter ini sering dianggap sebagai uang kertas pertama di Indonesia.

Pada waktu yang hampir bersamaan, penguasa VOC di Ceylon (Sri Lanka) juga menerbitkan instrumen sejenis pada tahun 1785 dan seterusnya.

Uang “Surat Hutang Kompeni 1782” Ini beredar dalam jumlah hampir tidak terbatas, sehingga turun nilainya menjadi 85%.

Antara tahun 1782 - 1799, VOC mengeluarkan beberpa emisi surat Hutang (Kredietbrieven) dengan pecahan berbeda-beda. Pemalsuan atas surat Hutang 1782 ini merupakan yang pertama kali di Indonesia.

Setelah pengambilalihan kekuasaan VOC di Indonesia oleh Republik Batavia (1799 - 1806), tidak ada penerbitan Surat Hutang oleh pemerintah pusat di Batavia, hanya uang logam India Batavia (1799 - 1806) yang berlaku umum.

Di lain hal, surat hutang VOC di Amboina 1805, yang juga berlaku di Banda dan Ternate sebagai Bagian Pemerintahan Maluku, masih memakai lambang VOC.

Ketika Indonesia berada di bawah pengawasan kerajaan Hollandia (1806 - 1811), uang kertas tidak hanya diterbitkan oleh Pemerintah Pusat di Batavia, tetapi juga oleh Pemerintah Lokal di Ambon, Banda, dan Ternate.

Pada masa ini, semua jenis uang logam dan kertas menampilkan lambang (monogram) LN (Lodewijk Napoleon). Yang terkenal diantaranya adalah uang kertas Probolinggo (Probolinggo Paper) 1810, yang berkaitan dengan kebijakan Gubernur Jenderal Mr. HW Daendels (1808-1811) menjual tanah negara dan hak kekuasaannya kepada perorangan.

Uang kertas Probolinggo 1810 merupakan hipotik Han Tik Ko, Kapitan China (1799 - 1811) di Pasuruan, yang dapat ditukar dengan perak selama 10 tahun.

Kenyatannya uang Probolinggo mengalami inflasi sampai 50% dibawah nominal. Usul Daendels tidak efektif, bahkan penggantinya Letnan Gubernur Raffles (1811 - 1816) yang memberlakukan kurs ketat menyebabkan penurunan nilainya sampai dengan 60%.


JAMAN PEMERINTAHAN INGGRIS (1811 - 1816)

Pemerintah Letnan Gubernur Raffles (1811 - 1816) menghadapi masalah kesulitan keuangan yang diwariskan oleh Gubernur Jenderal Daendels (1808 - 1811).

Pembukuan dilakukan dalam Dollar Spanyol pada awalnya, tetapi segera digantikan oleh Rupee dan Ropi Jawa (Java Rupee), sebagaimana terlihat diatas uang kertas terbitan Inggris (termasuk oleh Lombard Bank 1814).

Tampaknya masa yang singkat ini hanya sedikit jumlah uang kertas yang dikeluarkan, seperti halnya uang logam pecahan besar.


JAMAN PEMERINTAHAN BELANDA (1816 - 1942)

Pada masa ini terlihat perubahan mendasar atas bahan kertas dan corak penciptaan “Creatie 1815” sebagai uang kertas kredit pemerintah mirip dengan uang kertas Creatie Suriname 1829.

Peredaran uang kertas Creatie 1815 tidak luput dari pemalsuan karena kesederhanaannya.

Penerbitan uang kertas mirip cek Javasche Bank 1827 dicetak untuk pertama kalinya oleh percetakan Johan Enschede en Zonen (Belanda).

Selanjutnya Javasche Bank menerbitkan uang kertas tembaga (Koperpapier) dan uang tembaga (Kopergeld) 1832, 1842, dengan corak mirip uang kertas Suriname 1826 dan uang Belanda Muntbiljet 1845.

Sejak penerbitan uang kertas Koperpapier ini, huruf Jawa tercantum seterusnya s.d. menjelang emisi terakhir Javasche Bank 1946, terkecuali terbitan Departemen Keuangan Muntbiljet, juga untuk pertama kalinya ‘tanda air’ (watermark) digunakan sebagai alat pengaman.

Pada tahun 1846 diterbitkan uang kertas baru ‘Resepis Perak’ (Zilver Recepissen) oleh Javasche Bank. Tidak seperti penerbitan sebelumnya, tanda tangan pengesahan untuk beredar bukan oleh pejabat Javasche Bank, akan tetapi oleh Pejabat Kantor Pemeriksaan Keuangan Umum (Algemeene Rekenkamer).

Uang Resepis Perak ini beredar dalam jumlah besar, sehingga untuk melawan peredaran uang tembaga yang berkelebihan dan buruknya uang kertas Resepis Perak, maka uang logam yang beredar di Hindia Belanda pada masa pemerintahan Raja Willem III (1849-1890), dicetak di percetakan Utrecht, Belanda.

Berkali-kali reformasi keuangan telah dilakukan, namun tidak menghasilkan keuangan yang sehat.

Tahun 1851 Javasche Bank masih menerbitkan uang kertas berbentuk cek, seperti emisi Kopergeld 1832 dan 1842. Semua uang kertas Javasche Bank terbitan-terbitan awal terbatas luas daerah peredarannya.

Tahun 1864 Javasche Bank menerbitkan uang kertas sesungguhnya, seperti halnya uang kertas semasa sekarang ini, dimana sarat dengan corak hiasan sebagaimana uang klasik lainnya.

Pencantuman teks undang-undang dalam 4 bahasa (Belanda, Arab Melayu, Jawa, Cina) menunjukkan bahasa dan tulisan yang paling dominan dipakai oleh masyarakat di Hindia Belanda waktu itu.

Peredaran uang kertas ini tidak begitu disukai di Sumatera Barat. Unsur pengaman mulai ditambahkan pada nomor seri dan kode kontrol. Namun, uang kertas ini pun akhirnya tak luput dari pemalsuan.

Mulai tahun 1873 beredar emisi Javasche Bank yang baru dengan ciri-ciri utama corak hiasan bingkai kayu dan lambang kota Batavia.

Menjelang akhir penutupan abad XIX, beredar uang kertas perusahaan lokal (scrip) seperti NIEM 1861 (BDN), Brown & Co. 1890, NHM 1888 (Bank Eksim) dan sejumlah besar perkebunan-perkembunan di Sumatera Timur dan Jawa Barat, yang dikenal sebagai uang kupon perkebunan ± 1889 dan seterusnya.

Akhir abad XIX, Javasche menerbitkan uang kertas emisi 1897 (seri Coen-Mercurius) bercirikan lambang kota Surabaya, Batavia, dan Semarang, serta panorama pesisir laut di antara Dewa Merkurius dan Gubernur Jenderal J.P. Coen (1623, 1627-1629).

Semua uang kertas klasik diatas, peredarannya masih terpusat di Pulau Jawa. Selanjutnya uang kertas kolonial terbitan abad XX terlebih dengan diundangkannya larangan menggunakan uang asing selain mata uang Hindia Belanda, dapat dikatakan beredar merata di luar Pulau Jawa.

Selanjutnya terjadi pembagian hak penerbitan uang kertas dan logam antara Javasche Bank dan Departeman Keuangan (Departement van Financiƫn) yang berlaku hingga pemerintahan RI (Orde Lama). Alhasil Departemen Keuangan menerbitkan uang kertas pecahan kecil (dibawah 5 Gulden) pada tahun 1919, 1920, 1940, dan 1943.

Penerbitan uang kertas Javasche Bank bercirikan gambar gedung JB dan logo JB tampaknya sebagai persiapan memperingati 100 tahun JB (1828–1928). Terbitan tahun 1925 (seri Coen) tidak luput dari pemalsuan, karena kemajuan teknologi percetakan kala itu.

Menjelang Perang Dunia II terjadi perubahan kebijakan politik Belanda, dimana lambang kolonial digantikan dengan unsur-unsur corak pribumi. Penerbitan uang kertas Javasche Bank 1934 (seri Wayang) merupakan puncak hasil karya cetak kolonialisme, sehingga dianggap sebagai uang kertas terbagus diantara semua uang kertas yang ada.


JAMAN PEMERINTAHAN JEPANG (1942 - 1945)

Masa yang singkat ini hanya mengenal uang kertas saja sebagai alat pembayaran. Uang logam pendudukan khusus tidak beredar.

Sebelum pendudukan, uang kertas terbitan pertama yang dikenal “Uang Pohon Pisang” (1942) telah dipersiapkan di Jepang dan diedarkan oleh bala tentara Angkatan Laut Jepang (kaigun). Oleh karenanya dikenal istilah “Uang Penyerbuan Jepang” (Japanese Invasion Money=JIM) oleh bangsa Barat.

Setelah “Uang Pohon Pisang” dirasakan cukup berperan sebagai uang peralihan, Jepang menerbitkan uang kertas bercorak alam dan budaya Indonesia sebagai bagian propaganda. Uang ini dikenal sebagai uang wayang atau Gatotkaca. Oleh karena jumlah pencetakannya yang besar, akhirnya hal ini menyebabkan inflasi.

Menjelang kejatuhan Jepang, beredar pula uang kertas Pemerintah Dai Nippon yang bercorak sama dengan uang Jepang di Malaya. Pecahan terbesar (1000 Roepiah) yang bercorak sama pula dengan uang Malaya tidak sempat beredar, karena bersamaan dengan kekalahan Jepang tahun 1945.

Pada masa perang dunia (1939 - 1945), pihak Belanda dan Jepang mengeluarkan uang kertas tahanan perang (kamp) di Jawa dan Sumatera (Allasvallei, Tjimahi, Tjideng, dan lain-lain) yang mirip dengan tanda terima/karcis.


PEMERINTAHAN RI 1945 - sekarang

Kembalinya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda (NICA) tahun 1945 sempat mendahului penerbitan uang kertas RI (ORI) dengan mengedarkan uang kertas “Uang NICA (uang merah) 1943” yang berkelanjutan dengan perebutan daerah dan tarik menarik peredaran antara Belanda vs Indonesia.

Sementara itu, Belanda (NICA) juga memberlakukan uang kertas NICA 1943, Javasche Bank, Pra Perang Dunia II dan Federal 1946 yang dilegalisir dengan cap-cap khusus di Guinea Baru Belanda (Papua dan Papua Barat), sebelum mengeluarkan terbitan khusus Nederland Nieuw Guinea 1950 dan 1954.

Pada masa revolusi (1945 - 1949), uang RI yang dikenal sebagai “Oeang Repoeblik Indonesia / ORI, URI, Uang Putih” terlambat beredar (1946) dan mengalami masa paling sulit karena keadaan ekonomi dan politik pada waktu itu. Proses pencetakan, pengiriman, dan pengedarannya sangat genting dan tidak menentu.

Pemerintah RI sempat mengeluarkan 3 (tiga) kali uang kertas (ORI / URI) 1945 - 1948 (satu diantaranya keluaran militer). Uang kertas darurat RI (ORI) ini hanya sempat beredar di Jawa - Madura dan Lampung, dikarenakan transportasi yang sulit.

ORI lainnya sempat dicetak di Amerika Serikat (Security Banknote Company), tapi situasi tidak memungkinkan untuk pengangkutan. Selain perang saraf dengan Belanda, peredaran ORI menghadapi masalah inflasi, ditambah lagi dengan pemalsuan yang tidak sedikit jumlahnya.

Pada akhirnya menjelang pengakuan kedaulatan RI (1949), dipersiapkanlah reformasi keuangan berupa “Uang Republik Indonesia Baru” (URIBA) 1949, namun hal ini pun tampaknya tidak berjalan lancar.

Penerbitan uang darurat daerah merupakan satu-satunya jalan keluar sebagai pengganti uang pusat (ORI/URI). Faktor keuangan, politik, dan lainnya menyebabkan berbagai daerah-daerah di Jawa dan Sumatera (sebagian besar di sumatera Utara) mengeluarkan uang kertas mereka sendiri.

Dari tingkat daerah gerilya s.d. propinsi dan memakai nama yang berbeda-beda (bon, surat, penerimaan, cheque, dan lain-lain), namun berfungsi sama sebagai alat pembayaran.

Antara tahun 1948 - 1960-an, Kelompok Tandingan / Separatis (FDR Grobogan, NII Tjirebon, RMS, PRRI, PRRI / Permesta, RII Bagian Timur, dan lain-lain), mengeluarkan uang kertas lokal yang dicap / ditandatangani di atas uang terbitan jaman Belanda, Jepang, dan Republik Indonesia, maupun cetakan sendiri (lokal dan luar negeri).

Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) 1950 yang berumur kurang dari satu tahun, hanya mengeluarkan uang kertas pecahan kecil (Rp5 dan Rp10), meskipun pecahan lain telah dicetak sebagai percobaan.

Selanjutnya Departemen Keuangan RI masih berpedoman pada Undang-undang Jaman Belanda, mengeluarkan pecahan kecil pada tahun 1951, 1953, 1954, 1956, 1960, 1961 dan 1964 berbeda dengan terbitan masa revolusi fisik (1945 - 1948) yang meliputi semua pecahan besar dan kecil.


Beraneka Ragam Uang Terbitan Bank Indonesia

Tahun Tema

1952 Pahlawan dan Kebudayaan
1957 Hewan
1958 Pekerjaan Tangan I
1959 Flora dan Fauna
1960 Soekarno
1961 Borneo (kenyataan tidak beredar di Borneo Utara, Sabah, dan Serawak)
1964 Dwikora
1964 Pekerjaan Tangan II
1968 Soedirman (memakai benang pengaman pertama kali)
1975 Diponegoro, Borobudur
1977 Flora - Fauna
1979 Gamelan
1980 Pahlawan dan Kebudayaan
1982 Flora
1984 Fauna (dikenal sebagai uang merah di Irian Barat)
1985 - 1987 Pahlawan
1987 Fauna
1992 Spesifik Daerah
1993 Tokoh
1995 Fauna dan Tokoh
1998 - 2009 Pahlawan Nasional

Pada waktu yang hampir bersamaan, dikeluarkanlah uang kertas dan logam terbitan khusus yang hanya berlaku di Irian Barat dan Kepulauan Riau, dikarenakan keadaan politik dan ekonomi yang amat berbeda dengan daerah-daerah lainnya.
(AAS/NI/901062)


KEPUSTAKAAN

- Bree, L de : Gedenboek van de Javasche Bank, 1828-1928, vol.I-II, Weltevreden 1928
- Chijs.Mr. JA van der: Catalogus der Numismatischen Verzameling van het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Batavia 1896
- Directie NHM : Gedenkboek der Nederlandsche Handel Maatschappij 1824-1924, Amsterdam 1924
- Handjaja, S. dkk : Katalog Uang Kertas Indonesia 1782-1996, Jakarta 1996
- Pick, Albert : Standard Catalogue of World Paper Money Vol. I-III. General & Specialized Issues, Iola, 2006
- Scholten, C : The Coins of the Dutch Overseas Territories, Amsterdam 1952
- Dll



Ditulis oleh,
Alim Artadjaja Sumana,
Pengamat Numismatik dan Sejarah Daerah



Jangan lupa Like facebook dan follow twitter blog Uang Kuno Indonesia Raya (UKIR) untuk dapat up-date terbarunya.

(",)v

1 comment:

  1. Bagus banget artikelnya. Mau nanya bang itu sumber bukunya kalau boleh tau dapat darimana? pingin baca bukunya :)

    ReplyDelete